Indramayu//globalpena.com – Kejaksaan Negeri Indramayu memfasilitasi proses Perdamaian atau Penghentian Penuntutan Perkara dengan cara Restorative Justice, Restorative justice dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung (MA) dalam bentuk pemberlakuan kebijakan.
Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.
Tahapan Pelaksanaan Proses Perdamaian (Sesuai dengan Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021) tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Kepala Kejaksaan Negeri Indramayu Arief Indra Kusuma Adhi, S.H., M.Hum menjelaskan di Indramayu dari awal tahun sampai bulan ke 8 ini baru 2 kali baru di ajukan untuk Jalur Restorative Justice yang mana satu yang yang sukses dan satu lagi gagal,menurut Arief Restorative Justice di Indramayu sangat unik pasalnya Perdamaian tergantung dari besar kecilnya sakit hati seseorang/korban yang tanpa memperdulikan masa depan.
” Saya selama menjabat , baru kali ini menemukan di Indramayu susahnya mendamaikan seseorang baik pelaku ataupun korban yang mana terkadang pihak korban meminta uang ganti rugi yang tidak wajar atas kerugian yang didapat dan terkadang permintaan kerugian tersebut lebih tinggi dari kerugian nyatanya padahal ketika korban sudah dibayarkan atas ganti rugi yang sesuai misalnya mengobati luka atau mengembalikan barang pihak korban selalu tidak puas”, ujar Arief kepada media di ruang rapat kerjanya
” Beda dengan kota sebelumnya saya menjabat, ketika mereka sudah membayar pengobatan atau mengembalikan kerugian barang maka mereka setuju untuk berdamai karena memikirkan masa depan untuk pelaku sendiri “, tambahnya
Pemahaman hukum restorative justice didasarkan pada sejumlah peraturan berikut ini:
- Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
- Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
- Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 yang membahas Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
- Nota Kesepakatan Bersama yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui berbagai nomor surat yang mencakup aspek pelaksanaan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan, Acara Pemeriksaan Cepat, dan Penerapan Restorative Justice pada tanggal 17 Oktober 2012.
- Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 301 Tahun 2015 yang mengatur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan.
- Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021 yang membahas Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
- Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 yang mengatur Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
Peraturan-peraturan tersebut mengatur penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan restorative justice khususnya untuk tindak pidana ringan yang mencakup pasal-pasal tertentu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menerapkan restorative justice adalah:
- Kasus tindak pidana pertama kali.
- Kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana berada di bawah batas tertentu (misalnya, Rp 2,5 juta).
- Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban untuk mengikuti pendekatan restorative.
- Ancaman pidana yang dijatuhkan hanya berupa pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
- Tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban.
- Tersangka mengganti kerugian yang dialami oleh korban.
- Tersangka juga harus mengganti biaya yang timbul akibat tindak pidana dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana
(AH)